cara apa yang anda lakukan agar menjadi sukses

Senin, 15 November 2010

Kisah Sekuntum Mawar

Kisah Sekuntum Mawar
Kompas, Jumat, 15 Oktober 2010
Oleh Maria Hartiningsih

Mata menangkap bunga sebagai elemen tunggal. Namun, tanda dan bentuk selalu mengecoh ketika hanya ditatap sekilas. Bunga tak akan menjadi bunga tanpa elemen yang lain, meski- pun hanya satu elemen yang hilang.
”Untuk mewujud menjadi bentuk, segala sesuatu membutuhkan segala sesuatu yang lain,” tutur Thich Nhat Hanh (84), Guru Zen terkemuka dari Plum Village, Perancis, dalam ceramah-ceramahnya di Caringin, Bogor, beberapa waktu lalu.
Ia memperlihatkan sekuntum mawar, lalu menyentuh kelopak demi kelopaknya. ”Kalau menatapnya dengan berkesadaran, penuh konsentrasi dan kedamaian, kita melihat di dalam sekuntum bunga ada awan, matahari, udara, mineral, tanah, waktu, ketekunan, dan cinta orang yang menanam dan merawat sampai bunga itu mekar. Seluruh isi kosmos ada di situ. Tanpa awan yang menjadi hujan, bunga tak akan mekar. Tanpa waktu, tanpa ruang, tak ada bunga,” ungkap Thay, atau Guru, dalam bahasa Vietnam.
”Kenyataannya, bunga terwujud dari seluruh elemen nonbunga. Tidak ada eksistensi atau keberadaan yang berdiri sendiri di dunia ini. Di dalam diri kita ada segala sesuatu yang lain yang ada di dalam Semesta. Itulah interbeing...”
”Interbeing”
Interbeing adalah terminologi baru, yang artinya kira-kira, segala sesuatu yang hidup, terikat, terkait, tergantung pada segala sesuatu di Semesta Raya. ”Ketika melihat sifat alamiah dari ’interbeing’, maka penghalang antara ’kita’ dan ’mereka’, antara ’saya’ dengan ’yang lain’, lebur,” ujar Thay.
Hakikat interbeing dapat menyentuh kearifan nondiskriminasi. Seperti diungkapkan Thay, Buddhisme adalah bunga yang terwujud dari elemen Buddhisme dan non-Buddhisme. Islam adalah bunga yang sangat indah. Pun Kristiani dan agama-agama lain. Buddhis harus belajar Islam untuk memahami tradisi-tradisi besar di dalamnya. Begitu pun sebaliknya. Kalau Yahudi, Islam, dan Kristen kembali ke akarnya, banyak persoalan pelik bisa diselesaikan. ”Anda harus duduk bersama untuk saling berbagi,” Thay melanjutkan.
Retret hidup berkesadaran di Plum Village diikuti peserta dari semua keyakinan, agama, dan non-believers. Di Barat, sebagian besar pesertanya beragama Kristen. ”Kami menyelenggarakan retret bagi pihak yang sedang bertikai, seperti Israel dan Palestina, untuk mendorong kesalingpengertian dan kearifan nondiskriminasi. Perdamaian sangat mungkin terwujud dengan kesalingpengertian.”
Yang terpenting, menurut Thay, para aktivis perdamaian harus damai terlebih dahulu dengan dirinya sebelum melakukan aktivisme secara politik. Tidak ada jalan menuju kedamaian, karena kedamaian adalah jalan, dan berkesadaran adalah kuncinya.
Latar belakang para peserta retret di Caringin, Bogor, juga menarik. Rave Ward dari Amerika Serikat adalah seorang Buddhis, suaminya pejabat gereja. ”Konservatisme ada di dalam semua agama,” ujar Peggy, begitu ia disapa, ”Hanya dengan latihan berkesadaran, kita mampu melihat secara mendalam, menyentuh secara mendalam.”
Perjumpaan
Thay menggunakan kearifan Buddhis untuk memberi pemahaman tentang kearifan nondiskriminasi; suatu gagasan, niat dan tindakan terkait upaya-upaya perdamaian di dunia.
Perang, konflik, besar, kecil maupun personal, kecurigaan, kebencian, dendam, dan berbagai bentuk kekerasan terhadap diri sendiri maupun ”yang lain”, berawal dari persepsi keliru, dan menganggap persepsi sendiri sebagai satu-satunya kebenaran. ”Itu adalah sumber segala penderitaan,” ujar Thay.
Berbeda dengan pendekatan politik, pendekatan Thay tentang perdamaian di ranah publik menukik lebih dulu ke ranah personal, ke ranah individual secara lengkap, sebagai tubuh dan sebagai diri.
Ia menyatukan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan sejarah, astronomi, antropologi, dan biologi, untuk menjelaskan kesalingterkaitan di dalam ”interbeing”, antara tubuh, diri, manusia lain, tumbuhan, satwa, semua makhluk hidup, bumi, laut, udara, seluruh isi alam semesta sebagai suatu keutuhan (”wholeness”).
Sebagai intelektual, pemikir, penulis, penyair dan aktivis perdamaian, ia tidak steril dari dunia luar. Salah satu karya terbarunya —dari 100 buku lebih yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa—adalah merespons terorisme, dalam Calming the Fearful Mind: A Zen Response to Terrorism (2005).
Tak sulit menengarai sumbangan pemikiran Thay dalam membangun dan mengembangkan Etik Global untuk keadilan dan perdamaian yang dipromosikan Presiden Global Ethic Foundation Prof Hans Kung. Pendekatan interbeing dan esensi berkesadaran menjawab pernyataan Kung tentang kekosongan orientasi yang dihadapi manusia saat ini, baik terlepas maupun terkait dengan globalisasi.
Hidup berkesadaran membuat Thay mengalami ”perjumpaan” dengan para mistikus, seperti Thomas Merton (alm), yang menyebut Thay sebagai ”saudaraku”. Mereka berbagi pandangan tentang ”wholeness” dan kearifan nondualisme untuk mewujudkan kearifan ”nondiskriminasi” dan cinta tanpa syarat terhadap ”yang lain”; cinta yang memeluk seluruh isi kosmos. Kearifan itu pula yang mempertemukan pemikiran Thay dengan para sufi, termasuk penyair Persia abad ke-11, Mevlana Jalaluddin Rumi.
Simak salah satu puisi Rumi ini, ”Out beyond ideas of wrongdoing and right doing, there is a field. I’ll meet you there.” (Melampaui gagasan tentang benar atau salah, adalah dataran. Kujumpai kau di sana….)

Belajar Menerima

Ketika kita menyadari bahwa kita hidup dalam lingkungan sosial , maka kita akan berinteraktif dengan banyak orang.Ada berbagai macam orang yang akan kita temui.
Bahkan tidak jarang orang yang baik menurut kitapun punya kesempatan mengecewakan kita .

Apa yang bisa lakukan ?Apakah kita bisa meminta orang itu untuk berubah ? Tentu tidak, yang bisa kita lakukan adalah belajar menerima bahwa itu adalah pelajaran hidup yang berharga , dan kita bisa belajar untuk tidak terulang kembali dikemudian hari .

Berterima kasihlah kepada guru kita...

salam

always smile
melly kiong

MENGAPA KITA BERBEDA

MENGAPA KITA BERBEDA

1. Mengapa dalam kehidupan ini ada yang kaya tetapi ada yang miskin, ada yang bahagia tetapi ada juga yang menderita, ada yang cantik tetapi ada juga yang jelek, ada yang baik tetapi juga ada yang jahat dan perbedaan – perbedaan lainnya ?

Berikut ini adalah khotbah Sang Buddha yang berhubungan dengan perbedaan yang ada dalam kehidupan ini sehingga kita akan memahaminya dengan baik. ANGUTTARA NIKAYA X. 205

MENCARI AKHIR DUNIA

Dengan cara berjalan orang tak akan pernah mencapai akhir dunia, Namun tidak ada kebebasan dari penderitaan kalau belum mencapai akhir dunia. Mereka orang bijaksana yang mengetahui dunia.

Orang yang menjalani kehidupan suci, akan mencapai akhir dunia.

Dengan mengetahui akhir dunia, dia tidak akan lagi merindukan dunia ini, Tidak juga merindukan dunia lain. ANGUTTARA NIKAYA IV.45.

2. MENGAPA KITA DILAHIRKAN ?

Kalau kita kembali kepada Dhamma maka pandangan kita akan mengarah kepada proses dari kehidupan ini. Paticcasamuppada atau hukum sebab akibat yang saling bergantungan dapat dijadikan referensi tentang proses kelahiran ini.

Dijelaskan bahwa Avijja atau kegelapan batin yang masih ada akan menjadi penyebab proses selanjutnya. Demikian hal ini akan terus berlanjut selama akar dari proses itu masih ada.

Untuk lebih jelasnya kita kembali kepada rumusan Paticcasamuppada seperti berikut :

* Dengan adanya kebodohan muncullah bentuk – bentuk pikiran
* Dengan adanya bentuk – bentuk pikiran muncullah kesadaran
* Dengan adanya kesadaran muncullah batin dan jasmani
* Dengan adanya batin dan jasmani muncullah enam indera
* Dengan adanya enam indera muncullah kesan – kesan.
* Dengan adanya kesan – kesan muncullah perasaan
* Dengan adanya perasaan muncullah nafsu keinginan
* Dengan adanya nafsu kenginan muncullah kemelekatan
* Dengan adanya kemelekatan muncullah upadi (keinginan menjadi)
* Dengan adanya upadi muncullah kelahiran
* Dengan adanya kelahiran muncullah usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan jasmani, kekhawatiran dan putus asa.
* Dan muncullah ketidakpuasan batiniah / penderitaan

3. Kelahiran ini pun akan berakhir jika akar penyebab proses kelahiran tidak ada lagi seperti yang ada pada rumusan berikut :

# Dengan lenyapnya kebodohan lenyap pula bentuk – bentuk pikiran
# Dengan lenyapnya bentuk – bentuk pikiran lenyap pula kesadaran
# Dengan lenyapnya kesadaran lenyap pula batin dan jasmani
# Dengan lenyapnya batin dan jasmani lenyap pula enam indera
# Dengan lenyapnya enam indera lenyap pula kesan – kesan.
# Dengan lenyapnya kesan – kesan lenyap pula perasaan
# Dengan lenyapnya perasaan lenyap pula nafsu keinginan
# Dengan lenyapnya nafsu kenginan lenyap pula kemelekatan
# Dengan lenyapnya kemelekatan lenyap pula upadi (keinginan menjadi)
# Dengan lenyapnya upadi lenyap pula kelahiran
# Dengan lenyapnya kelahiran muncullah lenyap pula usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan jasmani, kekhawatiran dan putus asa.
# Dan lenyaplah semua ketidakpuasan batiniah / penderitaan

Jawabannya sudah jelas bahwa kenapa kita masih dilahirkan adalah karena kita masih dibelenggu oleh kekotoran batin. Selama belenggu ini belum dapat dipatahkan selama itu pula proses kelahiran akan terjadi.

Dengan mengetahui penyebab dari proses penyebab kelahiran ini maka kita harus berusaha untuk berjuang menuju kepada kebahagiaan sejati sehingga tidak ada kelahiran lagi.

SABBE SATTA SABBA DUKKHA PAMUCCANTU – SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATA : Semoga semua makhluk hidup terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia,...sadhu,...sadhu,...sadhu,...